Beranda | Artikel
Nikah Syigar, Nikah Tahlil, Nikah Dalam Masa Iddah
Kamis, 28 Maret 2013

PERNIKAHAN YANG DIHARAMKAN

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

5. Nikah Syighar.
Yaitu wali menikahkan gadis yang diurusnya kepada seorang pria dengan syarat dia menikahkannya pula dengan gadis yang diurusnya.

Nafi’ berkata: “Syighar ialah seorang laki-laki menikahi puteri laki-laki lainnya dan dia pun menikahkannya dengan puterinya tanpa mahar. Atau seorang laki-laki menikahi saudara perempuan laki-laki lainnya lalu dia menikahkannya pula dengan saudara pe-rempuannya tanpa mahar.”[33]

An-Nawawi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa pernikahan ini terlarang.”[34]

Adapun hadits-hadits tentang pengharaman pernikahan ini ialah sebagai berikut:
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْـلاَمِ.

“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.”[35]

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang syighar.”[36]

At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ جَلَبَ وَلاَ جَنَبَ وَلاَ شِغَارَ، وَمَنِ انْتَهَبَ نُهْبَةً فَلَيْسَ مِنَّا.

“Tidak boleh berbuat kejahatan, tidak boleh membangkang, tidak boleh melakukan syighar. Dan barangsiapa melakukan perampasan, maka dia bukan golongan kami.”[37]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang syighar. Dan syighar ialah menikahkan seseorang dengan puterinya dengan syarat orang tersebut menikahkan dirinya dengan puterinya pula, tanpa ada mahar di antara keduanya.[38]

Beberapa Pernyataan Para Ulama :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Allah telah mewajibkan mahar dan tidak mewajibkan para saksi. Barangsiapa yang mengatakan bahwa pernikahan itu sah tanpa adanya mahar dan tidak sah kecuali dengan adanya para saksi, maka dia telah menggugurkan apa yang diwajibkan Allah kepadanya dan mewajibkan apa yang tidak diwajibkan Allah.

Inilah di antara yang membuktikan bahwa pendapat penduduk Madinah dan ahli hadits itu lebih shahih daripada pendapat penduduk Kufah mengenai pengharaman nikah syighar. Alasannya hanyalah karena meniadakan mahar. Jadi, bilamana mahar tersebut ada, maka pernikahan pun menjadi sah.”[39]

6. Nikah Tahlil.
Yaitu menikahi wanita yang telah ditalak tiga setelah berakhirnya masa ‘iddahnya kemudian menceraikannya kembali untuk diberikan kepada suaminya yang pertama. Ini adalah salah satu dosa besar dan perbuatan keji yang Allah melarangnya dan melaknat pelakunya, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu.

At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil dan muhallal lahu.”[*] [40]

Arti muhallil berasal dari tahlil, yakni orang yang menikahi wanita yang ditalak tiga dengan niat untuk diceraikannya setelah menyetubuhinya agar orang yang mentalak tiga tersebut dapat menikahinya kembali.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang melakukan perbuatan ini dengan rusa yang dipinjamkan. Sebagaimana Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang rusa yang dipinjamkan?” Mereka menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Ia adalah muhallil, semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.”[41]

Pendapat-Pendapat Ulama :
At-Tirmidzi rahimahullah berkata: “Pengamalan atas hal ini dilakukan para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya adalah ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin ‘Umar dan selainnya, serta ini pun adalah pendapat fuqaha dan Tabi’in.[42]

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Pernikahan muhallil, yang diriwayatkan bahwa Rasulullah melaknatnya, bagi kami -wallaahu a’lam- sama halnya dengan nikah mut’ah, karena pernikahan ini tidak mutlak, jika disyaratkan agar menikahinya hingga melakukan persetubuhan. Pada dasarnya, dia melakukan akad nikah terhadapnya hingga dia menyetubuhinya. Jika dia telah menyetubuhinya, maka selesailah status pernikahannya dengan wanita tersebut.”[43]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa secara keseluruhan, pernikahan muhallil adalah haram lagi bathil menurut pendapat semua ahli ilmu, baik wali mengatakan: “Aku menikahkanmu dengannya hingga kamu menyetubuhinya,” maupun mensyaratkan bila telah menggaulinya, maka tiada pernikahan di antara keduanya, atau bila telah menggaulinya untuk pertama kalinya maka dia harus menceraikannya. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa pernikahan tersebut sah tetapi syaratnya tidak sah.

Asy-Syafi’i berkata: “Kedua bentuk yang pertama tidaklah sah, sedangkan untuk yang ketiga terdapat dua pendapat.

Ibnu Mas’ud berkata “Muhallil dan muhallal lahu dilaknat melalui lisan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mempunyai riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.`”[44]

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata ketika beliau berkhutbah: “Demi Allah, tidaklah dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lahu melainkan aku merajam keduanya. Sebab, keduanya adalah pezina.” Dan karena pernikahan hingga suatu masa, atau di dalamnya terdapat syarat yang menghalangi kelangsungan pernikahan tersebut, maka ini serupa dengan nikah mut’ah.

Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seorang pria bertanya kepadanya: “Aku menikahi seorang wanita untuk menghalalkannya bagi (mantan) suaminya, sedangkan dia tidak menyuruhku dan dia tidak tahu.” Ia menjawab: “Tidak boleh, kecuali pernikahan karena keinginan (yang wajar); jika mengagum-kanmu, pertahankanlah dan jika kamu tidak suka, ceraikanlah. Sesungguhnya kami menganggapnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai perzinaan.”[45]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang berucap: “Jika wanita yang dicerai telah disetubuhi seseorang (yang menikahinya) pada duburnya, maka dia halal untuk suaminya; apakah ini benar ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Ini adalah ucapan bathil, menyelisihi pen-dapat para Imam kaum muslimin yang masyhur dan para Imam kaum muslimin lainnya. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang ditalak tiga (kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama.-ed.):

لاَ حَتَّى تَذُوْقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ.

‘Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan dia merasakan madumu.’[46]
Ini adalah nash (teks) tentang keharusan merasakan madu masing-masing dan ini tidak terjadi dengan (cara menyetubuhi) dubur. Tidak diketahui adanya pendapat yang menyelisihi hal ini. Pendapat tersebut adalah pendapat aneh yang diselisihi oleh Sunnah yang shahih, lagi pula telah ada ijma’ sebelumnya dan sesudahnya.”[47]

Beliau juga ditanya tentang tahlil yang dilakukan manusia pada hari ini: “Jika terjadi pada apa yang mereka lakukan berupa pemberian hak, kesaksian, dan siasat-siasat lainnya; apakah itu sah ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Tahlil yang mereka sepakati bersama suami -baik lafal maupun kebiasaan- agar menceraikan wanita itu, atau suami meniatkan demikian adalah diharamkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat-nya.

7. Dan Di Antara Pernikahan Yang Diharamkan:
a. Nikah dalam masa ‘iddah dan menikahi wanita kafir selain kitabiyyah (wanita Yahudi dan Nasrani):

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat (perintah-perintah)-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah/2: 221]

b. Nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasab dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena ikatan perkawinan).

Berdasarkan firman-Nya:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara pe-rempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nisaa’/4: 23]

c. Diharamkan menikahi wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan; berdasarkan ayat tadi dan sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam bab: Wanita yang Dihalalkan dan yang Diharamkan.

d. Demikian pula tidak boleh menghimpun antara wanita dengan bibinya.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا.

“Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak bapak) dan wanita dengan bibinya (dari pihak ibu).”[49]

Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah, ia mengatakan: “Lalu diperlihatkan kepada kami, bahwa bibi ayahnya (dari pihak ibu) mempunyai status (kedudukan) yang sama.”[50]

e. Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak ketiga, dan tidak dihalalkan untuknya hingga menikah dengan suami selainnya dengan pernikahan yang wajar (bukan tahlil).[**]

Berdasarkan firman-Nya:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ

“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah…” [Al-Baqarah/2: 230].

f. Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلْمُحْرِمُ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ.

“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh pula meminang.”[51]

g. Tidak boleh menikahi wanita yang masih bersuami, dan tidak boleh menikahi wanita pezina.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang ber-zina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” [An-Nuur/24: 3]

h. Diharamkan menikah lebih dari empat wanita.
Berdasarkan firman-Nya:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.” [An-Nisaa’/4: 3].

Syaikh bin Baaz pernah ditanya tentang menikah dengan wanita kitabiyyah (Nasrani atau Yahudi): “Apakah Islam membolehkan menikahi wanita kitabiyyah pada saat seorang muslim berada di negeri Kristen, dan dia membutuhkan orang yang memperhatikan kehidupannya serta khawatir melakukan penyimpangan?”

Beliau menjawab: “Boleh menikahi kitabiyyah jika wanita tersebut memelihara diri lagi bukan pezina. Karena Allah mensyaratkan hal itu pada wanita-wanita yang menjaga kehormatannya. Jika wanita kitabiyyah ini diketahui memelihara dirinya dan jauh dari sarana-sarana kenistaan, maka Allah membolehkan hal itu, dan Dia menghalalkan wanita-wanita dan makanan mereka untuk kita.

Tetapi di masa sekarang ini berbagai dampak buruk dikhawatir-kan akan menimpa pria muslim yang menikahi mereka. Sebab, adakalanya mereka mengajaknya kepada agama mereka, atau hal itu menyebabkan anak-anaknya menjadi Nasrani. Bahayanya sangat besar, dan yang terbaik untuk kaum mukminin ialah tidak menikahinya. Karena wanita kitabiyyah pada umumnya tidak terhindar dari perbuatan nista dan (dikhawatirkan akan) mengatasnamakan padanya anak-anak dari pria lainnya. Sikap paling hati-hati bagi seorang mukmin, meskipun yang nampak bahwa wanita ini tidak berzina dan memelihara diri, ialah tidak menikahinya dan berusaha semaksimal mungkin untuk menikahi wanita muslimah-mukminah. Tetapi tidak mengapa jika memang membutuhkan hal itu, sehingga dia dapat memelihara kemaluannya dan memelihara pandangannya dengannya. Di samping itu dia berupaya untuk mengajaknya kepada Islam, serta berhati-hati terhadap keburukannya dan upayanya untuk menyeret dirinya atau menyeret anak-anaknya kepada kekafiran.”[52]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[33]. ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (no. VI/60).
[34]. Ibid.
[35]. HR. Muslim (no. 60) bab Tahriim Nikaahisy Syighaar wa Buthlaanihi kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1123) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3335) kitab an-Nikaah, ‘Abdurrazzaq (no. 6690), Mu’jam al-Kabiir (XI/358).
[36]. HR. At-Tirmidzi (no. 1133) kitab an-Nikaah, dan beliau menilainya sebagai hadits hasan shahih, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 897).
[37]. HR. At-Tirmidzi (no. 1123) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2581) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 19354), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 896).
[38]. HR. Al-Bukhari (no. 5112) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1415), kitab an-Nikaah.
[39]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/132) dengan diringkas.
[*]. Muhallal lahu adalah orang yang telah mentalak tiga isterinya kemudian meminta laki-laki lain menikahinya untuk menceraikannya kembali agar dia dapat menikahinya lagi.-ed.
[40]. HR. At-Tirmidzi (no. 1129) kitab an-Nikaah, dan menilainya sebagai hadits hasan shahih, an-Nasa-i (no. 3198) kitab an-Nikaah; dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1571).
[41]. HR. Ibnu Majah (no. 1936), kitab an-Nikaah, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1572). Lihat al-Irwaa’ (VI/309).
[42]. Komentar Imam at-Tirmidzi atas hadits (no. 1129), kitab an-Nikaah.
[43]. Al-Umm (V/117).
[44]. Lihat takhrij sebelumnya.
[45]. Al-Mughni (VII/570).
[46]. HR. Al-Bukhari (no. 5317) kitab ath-Thalaaq, Muslim (no. 1433) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1118) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3283) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1932) kitab an-Nikaah.
[47]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/109).
[48]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/151) dengan diringkas.
[49]. HR. Al-Bukhari (no. 5108) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1408) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1126) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3288) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2065) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 8950).
[50]. HR. Al-Bukhari (no. 5110) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1408) kitab an-Nikaah.
[**]. Maksudnya, jika suami kedua menceraikannya dan tidak merujuknya lagi hingga masa ‘iddahnya habis, maka suami pertamanya boleh menikahinya lagi dengan akad dan mahar baru.-ed.
[51]. HR. Muslim (no. 1409) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 840) kitab ash-Shaum, an-Nasa-i (no. 2842) kitab ash-Shaum.
[52]. Fataawaa Islaamiyyah (III/172). Kitabiyyah adalah wanita Yahudi dan Nasrani (Kristen) saja. Adapun selainnya, seperti wanita Majusi, Budha, Komunis,


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3562-pernikahan-yang-diharamkan-nikah-syigar-nikah-tahlil-nikah-dalam-masa-iddah.html